Hidup? Untuk apa? Hidup lalu mati? Hanya demikian dan memang hanya demikian. Kita hidup lalu kita mati. Ada yang belum sempat bisa membahasakan dirinya lalu mati, atau bahkan ada yang beruntung sudah terlalu banyak berbasa-basi dalam hidup, kemudian mati. Mati selalu menjadi ujung dari hidup. Memangnya apalagi?
Tanyakan pada orang yang sedang terkapar tidak berdaya di ruang ICU, yang sedang tawar-menawar dengan malaikat pencabut nyawa. Apakah mereka ingin diperpanjang umurnya? Ataukah lelah mereka lebih dominan, sehingga mereka siap untuk mati? Pada akhirnya hidup-mati bukan perkara tawar-menawar, akan tetapi hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Pasti.
Jakarta, 7 Juli 2007.
Dear diary,
Untuk apa hidup?
Cinta yang ku harapkan, berpindah dari yang terindah. Gundahku membuat aku kehilangan kontrol atas diriku. Semuanya hilang, tak tersisa. Asa yang selama ini kutinggikan, mendadak menghantamku dengan telak. Aku, kalah total!
Untuk apa hidup?
Dia yang menjanjikan selamanya tiba-tiba amnesia. Bangsat? Memang. Memaki ku tak puas, aku harus berbuat suatu hal yang mungkin akan menjadikan dirinya sebagai satu-satunya orang yang paling menyesal atas tindakanku ini. Memang salahku terlalu bergantung padanya, salahku juga terlalu membiarkannya menyelimutiku dengan apa-yang-selanjutnya-ia-sebut-cinta. Salahku? Brengsek memang. Seakan salahku, lalu dia? Yang menjanjikan selamanya, yang membuatku merasa sempurna.
Akhir-akhir ini dia jadi beda, sebenarnya sudah beberapa bulan belakangan ini. Tapi, toh aku tetap berusaha menganggap semuanya biasa-biasa aja. Meskipun akhirnya aku tau, dia membunuh setianya demi perempuan lain yang lebih terlihat seperti pelacur jalang.
Pelacur jalang? Hahaha mungkin ini pembelaanku terhadap kesakitanku sendiri karena kalah dari perempuan itu. Bukan, bukan. Ini bukan masalah menang atau kalah, ini masalah sebuah rumah yang terlihat kokoh dan lalu hancur lebur begitu saja. Waktu membangun rumah, lamanya, tidak sebanding dengan cepat hancurnya. Brengsek.
Orang-orang yang sayang padaku banyak, aku pun banyak sayang pada orang-orang. Keluargaku. Maaf, sakitku cukup menyiksa. Bukan, sakitku sangat menyiksa. Selamat malam, terima kasih. Maaf.
Mungkin itu kira-kira isi diary mahasiswi yang bunuh diri kemarin. Pagi tadi aku melihat beritanya ketika sedang sarapan. Berita lebih lengkapnya: Bunuh diri karena pacar selingkuh.
Ironi memang, ketika orang yang sedang berjuang melawan maut di ruang ICU, ada orang yang dengan mudahnya melakukan bunuh diri. Memang, kesakitan akan cinta tiap orang memiliki kualitas yang berbeda-beda. Jadi aku tidak mau lebih jauh menghakimi mahasiswi tersebut.
Ironi, ketika suasana batiniah kita berhadapan dengan kenyataan aktual keseharian dan segala kompleksitasnya. Cemas, takut, gentar, dan putus asa adalah hal-hal yang akrab pada diri kita. Jika berbicara hidup lalu ada yang bilang bahwa bunuh diri pun merupakan sebuah hak, memang. Aku pun tak tau seberapa berat beban hidup yang (orang-orang-yang-pada-akhirnya-memutuskan-untuk-bunuh-diri) pikul. Tiap manusia punya kesanggupan yang berbeda-beda dalam berhadapan dan menghidupi keseharian mereka.
Buatku, yang paling berharga dari kehidupan adalah kehidupan itu sendiri. Mengapa selalu memikirkan hidup? Bukan menjalaninya dan lalu menghayatinya? Kehidupan menghasilkan rasa dari ironi yang terjadi. Bukan logika.
Makna hidup harus dibuat bukan terberikan. Untuk apa hidup jika pada akhirnya mati? Untuk melakukan sebuah penghayatan atas kehidupan. Sehingga jika nanti kita mati, kita tidak akan mati dalam ketidakbermaknaan.
Mengutip salah satu dosenku, ia bilang (lebih tepatnya ia tweet): hidup tanpa masalah bukanlah hidup yang layak untuk dijalani.
Berarti, bunuh diri bukan tentang lari dari masalah, harusnya. Harusnya bunuh diri adalah tentang lari dari hidup yang terasa tanpa masalah.
Keseharian, dengan segala kompleksitasnya. Ada yang kongkow-kongkow di tempat hits tiap harinya, ada yang hidupnya terasa sempurna dipenuhi oleh kemesraan dari pasangannya di tiap waktunya, ada yang mau ini-itu tinggal bilang dan lalu terpenuhi dalam waktu yang singkat. Seperti di negeri dongeng. Tapi, nyata. Bumi dan langit beda sangat jauh jaraknya. Ada yang harus bersusah payah mengais tumpukan sampah hanya sekedar untuk makan, itu pun bukan makanan yang mereka harapkan pada akhirnya. Ada pengantar makanan cepat saji yang siap sedia 24 jam, yang mengantarkan makanan demi bisa makan. Belum lagi ada yang harus main kucing-kucingan dengan polisi untuk menjajakan tubuh, demi makan. Memang terasa seperti pembagian kerja. Terasa seperti lakon-lakon yang tiap manusia dapat bagian. Semua itu seperti jaring-jaring yang terhubung satu sama lain dan membentuk apa yang kita namakan kehidupan. Setuju atau tidak, memang demikian adanya.
Hiduplah demi seseorang. Atau, setidaknya hiduplah untuk berterima kasih.
Musim terus berganti, jam, menit, detik terus bergerak. Masalah pun akan bergantian menyambangi kehidupan kita. Nikmati dan hayati role yang kita punya dalam kehidupan ini. Sampai nanti kita akan tiba di akhir hidup tanpa sebuah penyesalan.
No comments:
Post a Comment