Salah satu yang bisa kita lakukan saat ini adalah terus berusaha untuk melakukan usaha. Banyak yang bosan berdiam diri, gak sedikit juga yang kerja libur tanpa kepastian akan penghasilan. Ada yang bahkan bingung mau ngapain lagi karena di rumah terus, tapi punya kepastian penghasilan, ada yang masih bekerja di luar rumah dengan bayang-bayang ngeri terinfeksi corona dan itupun menghasilkan nominal yang jauh dari biasanya.
Harusnya, tiap orang punya kepusingan masing-masing, tapi gue rasa tahun ini, kita punya kepusingan kolektif. Bulan puasa dimana jadi momentum uang berputar dengan kencang menjadi tidak bergairah dan bisa jadi bagai bungkusan nasi kucing tanpa karet.. ambyar! Jarak diperlebar, jumpa dikebiri demi memutus infeksi. Disaat ini baru kita bisa menghargai sebuah perjumpaan, pertemuan, dan berasa menyesal saat lebih memilih asik kepo instagram Anya Geraldine sewaktu kumpul dengan teman.
Kepusingan kolektif ini kita rasakan semakin tidak jelas kapan akhirnya, meski harapan tetap membangunkan kita di tiap tidur malam yang gak nyenyak-nyenyak banget. Semuanya terasa makin panjang dan tanpa tepi. Serasa tidak ada garis finish sementara kita sudah tergopoh-gopoh. Menyebalkan...
Ini puasa yang nanti bakal tanpa hingar bingar dan ibadah jamaah di masjid. Ini puasa yang nantinya bakal kita ingat-ingat di masa depan. Tentang sebuah virus, tentang sebuah kesedihan menerus, dan juga tentang kepedihan yang sukar terhapus.
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan aturan larangan mudik untuk semua kalangan. Larangan mudik untuk semua warga Indonesia. Ini semua tentu demi memutus rantai penyebaran virus yang kalo bentuknya orang tentu banyak yang mau mukul.. Larangan mudik disaat lebaran tinggal sebentar lagi tentu memunculkan buanyakkk cerita dan derita. Ya memang kita gak tau kondisi kesehatan kita, alih-alih ingin jumpa keluarga di kampung halaman, bisa jadi malah membawa virus dan jadi penebar di kampung halaman tercinta.
Di satu sisi, ada rindu yang gak tertahankan tentang kehidupan di rantau dan kampung halaman yang saling terkoneksi sampai momen mudik yang harus menuntaskannya. Gak bisa, kita gak bisa mudik tahun ini. Kita bisa video call dengan keluarga tercinta di kampung halaman. Sayangnya, dengan berat hati gue harus kasih tau satu hal: melalui video call sekalipun, rindu cuma ditunda, bukan digugurkan. Kini perjumpaan itu harus ditunda entah sampai kapan. Kini pertemuan itu harus diurungkan demi mencari akhir dari semua ini. Meski hati sakit dan perih, mari kita mencoba rapopo...
Bagaimana dengan mereka yang menggantungkan nominal penghasilan dari bidang transportasi? Kalian tau, gimana hujan badai yang mengguyur nyala api kecil di sebuah lilin? Cukup perlu waktu kira-kira satu tarikan nafas, maka nyala lilin tersebut bakalan mati. Momen mudik ini ibarat panen-nya petani bagi mereka yang menggantungkan hidup pada bidang transportasi. Semua persiapan dilakukan demi menyambut panen penumpang pada arus mudik. Kala alat transportasi kita sudah semakin berbenah dan mendekati kata canggih, saat itu pula mereka dihajar dengan begitu kejamnya oleh pandemi ini. Pandemi ini sukses menghajar mereka yang menggantungkan hidup pada bidang transportasi dengan status menang KO. Setidaknya untuk saat ini... dan tentu, cukup untuk saat ini aja.
Senyum sumringah pekerja transportasi tentu barang langka untuk saat ini. Harapan mereka akan pendapatan yang bisa menyenangkan untuk keluarga saat hari raya, kini menjadi hal yang menyedihkan apabila dipertanyakan. Semangat menggebu pekerja transportasi jelang arus mudik mendadak surut dan berganti keluh kesah yang kalo ditulis bisa menghabiskan waktu panjang dan perlu setidaknya 2 RIM kertas lebih sedikit. Mereka sudah menanti hari-hari ini, mereka sudah menunggu musim mudik selama setahun kurang. Musim "panen" tahun ini menyakitkan....
Akhir-akhir ini ketidakpastian terus-terusan mengakrabi kita. Tentu hal ini karena kita masih berada pada deretan hari yang tidak pernah kita bayangkan....
No comments:
Post a Comment