Monday, 10 March 2014

Kita hidup dalam kegilaan.

Gila. Term gila sudah jadi komoditas. Sebelumnya gila dipandang negatif, gila dijauhi, gila diasingkan, dan gila dipandang hina. Mata kita memandang hina ketika melihat orang yang kita anggap gila, orang dipinggir jalan yang mungkin telanjang, berjalan kaki tanpa arah, tertawa tanpa sebab. Kita langsung buru-buru menjauhinya. Kita takut, kita geli, kita jijik.

Sekarang? Segala sesuatu yang mengandung unsur 'gila' membuat orang jadi tertarik. Segala sesuatu yang menyandang term 'gila' dibelakangnya, membuat orang penasaran. Ambil saja contoh kecil nasi gila. Term gila menambah daya tarik makanan tersebut. "Eh, nasi gila itu apaansih?" term 'gila' mengundang rasa penasaran orang untuk tau apa itu nasi gila.

Sebenarnya gila itu bisa dikatakan kondisi tidak normal, entah siapa yang membuat standarisasi dari kenormalan sendiri. Entah siapa yang membuat batasan sehingga sesuatu dibilang normal atau tidak normal. Pada nasi gila, mungkin ketika makanan ini disajikan dengan porsi yang tidak normal, ketika makanan ini disajikan dengan rasa pedas yang diluar kewajaran. Hal inilah yang membuat daya tarik dari nasi gila. Dan disinilah term 'gila' menjadi komoditas.

Maaf, saya nggak akan bahas nasi gila secara lebih lanjut.

Kita secara tidak sadar sebenarnya memiliki ketertarikan terhadap kegilaan. Kita gila, kita menghidupi dan hidup dalam kegilaan. Apa iya ketika ada kecelakaan, kita bukan lantas mengutamakan pertolongan pada korban tetapi malah sibuk mengambil foto di lokasi kejadian, dan sibuk update sana-sini, update twitter, update facebook, dan lain-lain. Apa iya itu tidak gila?

Ada orang yang korupsi milyaran bahkan lebih, kasusnya menguap begitu saja. Ada nenek renta yang mencuri coklat untuk dijual dengan tujuan untuk dirinya agar bisa bertahan hidup, kasusnya sampai di meja hijau dan nenek tersebut diadili. Gila bukan?

Kita memberi label 'orang gila' kepada orang dipinggir jalan yang mungkin telanjang, berjalan kaki tanpa arah, tertawa tanpa sebab. Disisi lain kita juga menyukai dan memiliki ketertarikan pada term 'gila'. Contohnya nasi gila tadi. Bahkan kita menghidupi kegilaan dan juga hidup dalam kegilaan.

Saya bisa mengatakan gila itu merupakan konstruksi sosial. Gila itu label yang diberikan masyarakat untuk orang-orang yang melakukan hal-hal yang mereka anggap tidak wajar. Dan orang-orang ini selalu-lah minoritas, maksudnya, orang-orang ini, orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak wajar, mereka selalu lebih dikit jumlahnya ketimbang masyarakat yang memberikan label gila kepada mereka.

Bayangkan di rumah sakit jiwa, apakah pasien-pasiennya akan memberikan label gila kepada sesama pasien? Tentu tidak. Bisa jadi justru ketika kita kesana, kita yang menganggap diri kita sendiri waras, kita yang menganggap diri kita sendiri tidak gila, justru diberikan label gila oleh mereka. Karena hal-hal yang kita anggap gila, mereka anggap biasa dan mereka menghidupinya.

Jadi, tidak bisa mengelak bahwa kita secara tidak langsung memiliki ketertarikan pada kegilaan. Kita menghidupi kegilaan dan kita juga hidup dalam kegilaan. Kita sama saja dengan orang-orang yang kita anggap gila. Hanya saja ketika kita memberikan label gila kepada orang yang kita anggap gila, kita pastilah dalam mayoritas, sehingga ketika ada orang yang melakukan hal-hal yang kita (sebagai mayoritas) anggap tidak normal dan tidak sesuai dengan keseharian atau yang kita lakukan sehari-hari, maka kita memberikan label gila kepada hal tesebut. 

Dan sayangnya, saya harus bilang bahwa hal ini berlaku sebaliknya. Ketika kita dalam kondisi minoritas dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan keseharian pihak mayoritas. Maka label gila bisa disematkan kepada kita.

No comments:

Post a Comment