Selamat pagi khalayak ramai. Buat eloh dan juga eloh yang nungguin tulisan baru di blog gueh, silahkan berbahagia karena pada akhirnya gue memutuskan untuk bikin postingan lagi. Iya, eloh. Bagian sebelumnya nggak usah dibaca. Katrok soalnya.
Sebenernya gue bingung mau bikin postingan apa. Iya bingung, soalnya gue lagi nggak resah dan gue lagi nyaman sama apa yang gue jalanin sekarang. Mau nulis masalah cinta? Di blog gue udah ada banyak postingan tentang cinta dari A sampai huruf setelah Z. Insya Alloh ada.
Gue boong waktu gue bilang lagi nggak resah. Namanya lo hidup, pastilah berdampingan sama sebuah keresahan atau kecemasan. Hidup itu harusnya bukan sekedar gini-gini aja atau gitu-gitu aja. Bosen. Gue pake contoh diri sendiri deh ya buat nunjukin kalo hidup kita itu berdampingan sama kegelisahan. Belum lama ini gue kelar kuliah. Iya, gue main terus pas kuliah tau-tau lulus. Udah gitu aja. Waktu kuliah yang kebanyakan dipikirin sama mahasiswa itu skripsi.
Skripsi: setumpuk kertas yang di-hard cover dan kebanyakan isinya sudah dilupakan oleh pembuatnya mulai dari H+1 hari wisuda.
Waktu kuliah gue cemas sama apa yang nantinya jadi judul skripsi gue Judul udah dapet, gue cemas sama pembimbing gue, kira-kira siapa yang jadi pembimbing gue. Pembimbing udah dapet dan jelas, gue cemas sama siapa yang bakalan jadi penguji gue. Penguji skripsi udah ditentuin, gue cemas sama sidang skripsi gue. Sidang kelar, gue lulus kuliah, wisuda... Selanjutnya adalah gue cemas mau ngapain sih abis lulus kuliah? Oke gue udah kerja, gue masih cemas mau ngapain lagi hidup gue?
Awal mulanya, pas gue balik kerja, naik commuter line. Waktu gue turun, ratusan orang juga turun, kita jalan bareng kaya lagi CFD-an. Jalan lurus ke depan, satu tujuan beda latar belakang. Hari berikutnya juga gitu, gitu terus sampai akhirnya gue sadar ini adalah sebuah repetisi. Suatu hal yang berulang-ulang gue rasa gue kaya robot. Tersistem secara mekanistik melakukan hal yang berulang-ulang dengan sama dari hari ke hari.
Gue berangkat kerja dari rumah jam 4 pagi, di jalan saingan sama tukang bubur naik motor. Bukan tukang bubur naik haji. Balik kerja sampe rumah malem, tidur besoknya kerja lagi. Gitu terus sampe Pevita jadi milik orang lain. Ada kalanya kita kehilangan kontrol atas diri sendiri. Gue sadar betul akan hal itu. Harusnya kita memiliki kuasa penuh atas diri sendiri. Tapi ya itu tadi, ada masa dimana kita kehilangan kontrol atas eksistensi diri.
Eksistensi diri bukan eksis yang berarti lo up-to date mengikuti tren yang lagi laku di masyarakat. Kebanyakan sih gitu, eksis berarti lo ikutan apa yang lagi in di luar sana. Tren rambut diombre lo ngikut ombre rambut. Eksistensi diri bukan lahir dari rasa ikut-ikutan. Gue paham apa itu eksistensi diri karena skripsi gue bahas tentang hal itu.
Tenang, tulisan gue gak mengandung sianida. Lo gak akan mati gitu aja setelah baca tulisan ini.
Pertanyaan sederhana tapi ada banyak jawaban. Hidup, untuk apa? Jawabnya ada diujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak. Anak yang tangguh dan juga pemberani. Kalo lo baca kalimat sebelum kalimat yang lagi lo baca ini dengan nada, berarti kita seumuran. Iya, kita seumuran. Kalo lo cowok, gue jadiin sahabat. Kalo lo cewek gue jadiin pacar. Itu juga kalo lo cantik.
Ini bukan tulisan orang yang lagi depresi atau tulisan orang yang lagi ngeluh banyak masalah. Hidup tanpa masalah bukanlah hidup yang layak untuk dijalani.
Untuk bisa benar-benar hidup, kita perlu melakukan pemaknaan tentang dunia keseharian kita. Tuhan menciptakan manusia lengkap dengan aplikasi-aplikasi untuk melakukan sebuah pemaknaan atas kehidupan. Gue selalu suka melakukan refleksi atas apa yang gue kerjakan selama seharian, seenggaknya biarpun sedikit gue selalu melakukan pemaknaan berkenaan dengan hidup. Gue suka memikirkan apa yang udah gue lewati hari ini, di jalan pulang, di kereta tiap pulang kerja, bercampur dengan bau badan mas-mas yang diri di samping gue, sumpah baunya amis.. gue sampe bingung ini mas-mas apa ikan sarden..
Terlepas dari mas-mas yang bau ikan sarden tadi, akan muncul sebuah ironi dalam hidup lo dimana ketika suasana batin lo kek rasa cemas, rasa takut, gelisah berhadapan langsung secara face-to-face dengan dunia keseharian (dunia yang kita hidupi). Kita ini hidup bebas, punya hak penuh atas diri sendiri, oleh sebab itu kita patut cemas.
Analoginya gini:
Ketika dihadapkan pada banyak pilihan, kita diharuskan memilih pilihan A. Kita nggak punya kebebasan dalam hal ini. Konsekuensinya adalah gue nggak akan cemas dengan apa yang gue pilih, karena pilihan gue bukan berasal dari dalam diri gue. Bodo amat konsekuensi dari pilihan yang gue ambil. Toh pilihan A itu bukan dari diri gue, gue cuma sekedar diharuskan memilih pilihan A dan gak bener-bener mau mengambil pilihan A. Cerita jadi beda kalo gue memilih pilihan B dari pilihan A-Z yang bebas tersaji di hadapan gue. Gue jadi cemas karena pilihan B tadi adalah pilihan yang beneran gue ambil, dari dalam diri gue dan pilihan B ini adalah pilihan yang berasal dari kehendak diri gue. Maka, rasa cemas akan hadir dengan sendirinya berkenaan dengan pilihan B tadi. Apakah pilihan B merupakan pilihan yang tepat?
Anjir, keren.
Karena kita dikaruniai kesadaran, maka jadilah kita benar-benar hidup. Dunia keseharian selalu menuntut pemaknaan untuk bisa membuat kita benar-benar hidup. Dunia keseharian bukan hanya untuk dihidupi, dijalani, dan dilewati begitu saja, tapi kita dituntut untuk menghayatinya dan dari situ akan muncul sebuah pengalaman yang akan menuntun kita pada pemaknaan akan kehidupan. Cepat atau lambat, kita akan sadar kalo kita hidup dalam sebuah ironi. Jadi hidup nggak akan gini-gini aja atau gitu-gitu aja.
Percaya sama gue. Eh jangan, musyrik.
Yaudah ya, ngantuk.
Hi there friends, how is everything, and what you wish for to say
ReplyDeleteabout this post, in my view its in fact amazing for me.
Situs Taruhan Online
Poker Online Uang Asli
Situs Domino QQ
Slot Game
Sabung Ayam