Thursday, 10 April 2014

Cerita dari Kehidupan Kedua.

Selamat tinggal Mich, aku sayang kamu...
Disini tempatnya terlalu penuh cahaya.
Terlalu damai.
Bahkan jika kita terjatuh pun, kita tidak akan merasakan rasa sakit.

..............................................................................................................................................

Pagi itu aku terbangun dengan badan yang kurang enak, ah semalam aku memang telat tidur, pekerjaanku banyak. Kulirik jam tanganku. Aku memang lebih nyaman menggunakan jam tangan, maksudku, aku memang selalu menggunakan jam tangan kemanapun aku pergi.

“Ah, jam 8 pagi ya? Sebegitu lelahkah aku sampai telat bangun?” batinku dalam hati.
              
Entah kenapa aku enggan beranjak dari tempat tidurku, terkadang kasur memang sangat posessif. Iya memang keseringannya seperti itu.
Aku belum memperkenalkan diriku ya pada kalian? Aku Mich, panggil saja Mich. Karena aku yakin kalian tidak akan pernah mau mendengar nama panjangku, aku sendiri malas menyebutkan nama panjangku.

Oke jika kalian memaksa, namaku Mich Blazxanowski. Susah kan mengejanya? Aku sendiri mengalami masalah saat berusaha mengeja nama belakangku ketika ada orang yang menanyakan hal tersebut. Oleh sebab itu, panggil saja aku Mich. Umurku 18, aku tinggal di Red Fall, sebuah kota dengan suasana yang sangat damai. Mungkin Red Fall adalah kota paling damai yang pernah ada. Aku penulis, penulis novel. Novel-novelku cukup sering mendapat perhatian remaja se-usiaku. Aku yakin, kalian pasti tertarik membaca salah satu novel tulisanku.

Oh iya, kalian punya kekasih? Aku punya. Dia cantik, matanya biru, rambutnya sebahu.
Namanya Rena....
Dia cantik, aku laki-laki beruntung bisa menjadi kekasihnya.
Pokoknya aku beruntung deh. Percaya deh.

Aku masih belum beranjak dari tempat tidurku sebelum notifikasi email dari laptopku mengagetkanku. Ternyata ada email dari editorku mengatakan bahwa aku harus segera menyelesaikan novel terbaruku. Menyebalkan bukan? Sangat menyebalkan ketika kita diburu-buru oleh sesuatu dan harus segera menyelesaikannya. Menurutku sih sangat menyebalkan. Maksudku, aku tidak suka melakukan sesuatu secara terburu-buru dan tidak teliti.

Untuk beberapa hal, aku tidak suka diburu-buru.

Aku hampir lupa, besok 12 April, hari jadiku dan Rena ke 3. Iya, kami sudah tiga tahun menjadi sepasang kekasih. Hampir lupa, selalu, aku selalu hampir melupakan tanggal-tanggal penting dalam hidup. Ulang tahunku sendiri saja aku sering lupa. Tapi bukankah itu hanya sekedar hari? Sekedar tanggal? Menurutku sih yang terpenting bukan hanya bagaimana kita mengingat tanggal-tanggal penting tersebut, dan bukan hanya bagaimana cara kita merayakannya. Yang terpenting menurutku sih bagaimana cara kita memaknainya. Perayaan tanpa pemaknaan mungkin hanya akan menjadi sia-sia. Lagipula hidup memang tentang pemaknaan di tiap harinya, di tiap tanggalnya. Jadi, bukankah kita tidak memerlukan tanggal-tanggal khusus? Tanggal-tanggal penting dalam hidup kita, buatku, hanya sekedar pengingat momentum apa yang ada di tanggal dan bulan tersebut.

Rena belum menghubungiku, biasanya dia tidak pernah telat memberi kabar di pagi hari. Dia selalu bangun lebih pagi ketimbang aku.

Tiba-tiba aku mendengar pintu rumahku diketuk seseorang. Aku langsung bergegas menuju pintu rumahku.

“Loh, kamu kok kesini nggak ngabarin sih?” aku terkejut melihat Rena berdiri di depan pintu rumahku.
“Surprise!!! Ini tanggal berapa? Tuh kan, lupa lagi kalo ini hari jadi kita. cuma di tahun pertama kamu nggak lupa tanggal jadi kita” Rena mencibirkan mulutnya.

Sebentar, sebentar. Ini tanggal berapa sih? Ah, sekejap aku langsung ingat kalo hari jadiku dan Rena adalah tanggal 11 April.

Aku tau dia kecewa.
Tapi sudah biasa kan aku lupa tanggal-tanggal penting dalam hidupku?

“Gimana novelmu? Selesai?” Pertanyaan Rena mengagetkanku.
“Eh? Novel? Ya gitu deh”
“Gitu gimana?”
“Belum selesai, bingung”
“Coba sini aku lihat, boleh dong jadi penilai sebelum novelmu terbit?” Rena meminta persetujuanku. Aku belum mengiyakan, dia sudah bergegas ke dalam rumahku dan segera membuka laptopku.
“Hemm, temanya gak jauh berbeda sama novelmu sebelumnya”
“Kamu mau minum apa?” Tanyaku.
“Terserah kamu, sayang”

Segelas susu coklat dingin menemani Rena membaca calon novelku yang masih belum selesai, ia banyak mengomentarinya, ya aku sangat suka ketika dia mulai menilai apa yang aku tulis, aku sangat suka ketika dia memberikanku saran, bagaimana seharusnya tulisanku, bagaimana harusnya jalan ceritanya. Tapi aku sangat tidak suka ketika dia selalu menolak ketika aku menyarankannya menjadi penulis, sama seperti aku. Padahal, dia selalu memiliki imajinasi yang bagus. Dia bisa menjadi penulis hebat, bahkan bisa lebih hebat dariku.

“Aku suka bagian ini, dimana tokoh dalam novelmu mulai mempertanyakan bagaimana bila pada akhirnya tidak ada kehidupan abadi, bahkan setelah kematian.”
“Aku juga suka bagian itu.”
“Kan, kita sehati” ujar Rena.

Rena selalu bisa membuatku tersipu, ia selalu bisa membuatku senang.

“Tapi aku bingung bagian akhirnya, aku bingung.”
“Ya, aku juga mempertanyakan bagaimana ketika memang sebenarnya tidak ada kehidupan abadi, bahkan setelah kematian.” Gumam Rena. “Tapi nanti kita akan tau”
“Iya kita akan tau setelah kita mati hahaha, tapi kita tidak akan pernah bisa menceritakannya”

Rena terdiam. Ia langsung murung.

“Eh? Aku salah ngomong ya? Kok jadi murung gitu? Maaf deh”
“Nggak, kamu nggak salah. Kamu bisa menceritakannya kok nanti”
“Maksudnya?” aku bertanya pada Rena yang mukanya terlihat murung.
“Nanti”

Hari sudah sore, Rena bergegas pamit dari rumahku, ia masih tetap murung. Sepertinya ada yang salah dengan ucapanku, aku yakin dia tidak murung karena aku lupa hari jadi kami. Dia nggak bakal murung, kelupaanku terhadap tanggal-tanggal penting, sudah biasa bagi Rena.

Sudah biasa bagi kami.

“Aku antar pulang ya?”
“Nggak usah, sayang. Aku naik taksi”
“Hati-hati ya sayang, jangan lupa beri kabar”
“Siap dehhh, segera selesaikan novelmu, aku nggak sabar mau baca bagian akhirnya.”
“Siap! Ibu editor tersayang”

Seharusnya Rena yang jadi editorku. Tapi kenyataannya Rena memang tidak tertarik dengan bidang menulis.

Sesaat setelah Rena bergegas masuk taksi yang sudah menunggunya, aku segera masuk kembali ke dalam rumah. Apa yang salah ya dengan perkataanku sehingga Rena menjadi murung dan tampak sedih?

Aku segera membuka laptopku dan mencoba berusaha menulis bagian akhir dari novelku. Aku membawa laptopku ke kamarku, aku lebih nyaman menulis di kamar.

“Apakah ada kehidupan abadi setelah kematian?” aku bertanya-tanya dalam hati

Novelku kali ini secara garis besar bercerita tentang sepasang kekasih yang mencoba mencari tau tentang apakah ada kehidupan abadi. Seorang perempuan bernama Ann meninggalkan kekasihnya, ia kecelakaan, ia mati. Itulah awal laki-laki yang menjadi tokoh utama dalam novelku mencari tau apakah ada kehidupan abadi setelah kematian, perempuan yang mati karena kecelakaan tersebut adalah kekasihnya.

Laki-laki dalam novelku bernama Zack, ia memiliki anggapan bahwa semakin lama hidup, maka semakin banyak kita mengalami kehilangan. Zack sangat terpukul dengan kematian Ann kekasihnya, ia mencari tau apakah ada kehidupan abadi setelah kematian. Bagian inilah yang membuatku bingung menentukan bagian dari novelku, sebenarnya memang novel fiksi, tapi aku membuatnya dengan sungguh-sungguh dan tidak mau membuat akhir yang biasa-biasa saja.

Aku bisa saja membuat bagian akhirnya bahwa sebenarnya ada kehidupan abadi setelah kematian, sebaliknya, bisa juga aku membuat akhir cerita, dan membuat Zack mengerti dan mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada kehidupan abadi setelah kematian.
Tapi, menurutmu, apakah ada kehidupan abadi setelah kematian?

Bukankah kita memang tidak pernah tau sebelum kita mati? Lalu, aku yakin, setelah kita mati, kita akan tau apakah disana ada kehidupan abadi ataukah tidak. Sayangnya, kita tidak akan pernah bisa menceritakannya, apalagi membuatnya menjadi sebuah bagian akhir dari novel.

Aku bingung, sangat bingung, sama seperti Zack yang bingung, sama seperti Zack yang masih bertanya-tanya apakah ada kehidupan abadi setelah kematian. Apakah aku harus membunuh Zack dalam ceritaku? Dan menceritakan apa yang diketahui Zack setelah mati? Tapi tetap saja, misalkan aku membunuh Zack, aku tetap belum tau apakah Zack akan menemukan kehidupan yang abadi disana, ataukah tidak.

Ah, ini kan hanya novel fiksi, aku cukup membuat akhir ceritanya menarik dan tidak biasa-biasa saja.

Tapi, jauh di dalam hatiku, aku benar-benar bingung. Ini bukan sekedar mengenai bagian akhir dari novelku. Aku benar-benar bingung apakah disana ada kehidupan abadi ataukah tidak. Aku bingung bagaimana orang-orang pada akhirnya harus mati. Aku bingung dengan sistem yang ada, dimana kita hidup, dan pada akhirnya kita akan mati. Dan itu pasti.

Bunyi nada pesan di handphone milikku membuyarkan kebingunganku.

“Mich sayang, aku udah sampai rumah nih, kamu akan segera tau apa yang seharusnya kamu tulis di bagian akhir novelmu.” Ternyata pesan dari Rena.

Baru kali ini Rena sangat penasaran dan tertarik dengan novelku, buktinya dia sampai masih kepikiran tentang bagian akhir dari novelku. Apa mungkin dia juga bingung dan memikirkan hal yang sama denganku? Apa ia juga memikirkan hal yang sama denganku, dan dengan Zack?

“Aku masih bingung nih. Kamu jangan tidur larut malam ya sayang.” Aku membalas pesan Rena.

Aku tidak tau aku tertidur jam berapa, ketika aku membuka mata, cahaya matahari sudah menerobos celah jendela kamarku. Aku melihat jam tanganku dan jam tanganku menunjukkan jam 8 pagi. Lagi-lagi aku telat bangun. Tidak lama kemudian, aku mendengar pintu rumahku diketuk seseorang. Aku langsung bergegas menuju pintu rumahku.

“Baru bangun?” tanya seseorang yang berdiri di depan pintu rumahku. Orang tersebut adalah Rena.
“Iya sayang, kok pagi banget kesini? Kangen?” aku mencoba berbicara sekenanya, aku belum benar-benar bangun dari tidurku. Sebenarnya.
“Kangen apanya, pagi buat kamu, udah siang buatku.” Rena tersenyum sinis ke arahku. “Coba sini aku mau lihat perkembangan novelmu” imbuhnya.
“Semangat banget sih kamu? Oke masuk dulu” aku mengajak Rena masuk ke rumahku.

“Sebenarnya aku mau bikin bagian akhirnya, tapi masih belum yakin, aku takut bagian akhirnya jadi hambar dan tidak menarik” ujarku sambil membawa laptop dari kamarku ke ruang tamu.
“Coba sini aku lihat” ujar Rena yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu.
“Kamu masih mengulur-ngulur cerita ya, Zack sampai saat ini masih belum tau apakah ada kehidupan abadi setelah kematian.” Komentar Rena setelah melihat perkembangan novelku.
“Sebenarnya aku sendiri juga bingung, apakah disana ada kehidupan abadi ataukah tidak.” Sahutku.

Rena menjadi sedih sesaat setelah mendengar perkataanku.

“Tidak ada kehidupan abadi setelah kematian” ucap Rena.
“Tapi menurutku ada, untuk apa kita mati jika tidak ada kehidupan abadi setelah kematian?” aku menanggapi perkataan Rena.
“Aku serius, tidak ada kehidupan abadi setelah kematian.” Mimik wajah Rena menjadi serius. “Kamu tau atau kamu ingat penyebabmu ada disini? Di kehidupan kedua?” tanya Rena kepadaku. Suasana menjadi hening.
“Kehidupan kedua? Maksudmu apa? Aku nggak ngerti”
“Akan kuberi tau, pejamkan matamu” perintah Rena.

Aku mencoba menuruti perintah Rena, aku tidak tau apa yang terjadi dengannya, aku tidak tau kenapa dia mengatakan tidak ada kehidupan abadi setelah kematian. Aku tidak tidak mengerti kenapa ia membicarakan kehidupan kedua yang akupun tidak paham apakah itu kehidupan kedua.

Aku memejamkan mataku, mencoba menuruti perintah Rena.

Saat aku membuka mataku, aku sedang di pemakaman. Aku melihat sedang ada proses pemakaman. Seorang laki-laki dan perempuan paruh baya terus menangisi peti yang segera masuk ke makam. Disamping dua orang terebut ada seorang laki-laki yang juga menangisi peti tersebut. Aku berusaha mendekat kearah makam tersebut, disana masih banyak orang, proses pemakaman masih berlangsung. Aku berusaha mendekatinya.

“Jangan mendekat, cukup disini saja.” Rena menepuk bahuku, ternyata ia ikut denganku, ia ada di belakangku.
“Apa maksud dari semua ini, sayang?” tanyaku.
“Perhatikan, maka kamu akan mengetahuinya” jawab Rena.

Aku bisa membaca tulisan yang ada di nisan makam tersebut.

TERBARING DENGAN DAMAI,
ANN KIDDNAP
PUTRI DARI TUAN ROBB EDWARD DAN NY. TIFFANY,
MENINGGAL TANGGAL 14 DESEMBER 1990,
DALAM USIA 18 TAHUN 2 HARI.

“Ann? Kok sama seperti tokoh di novelku yang belum selesai?” aku bertanya dalam hati.

Beberapa saat kemudian proses pemakaman Ann selesai, para pelayat yang hadir satu persatu meninggalkan pemakaman. Tidak terkecuali lelaki payuh baya dan istrinya, mereka juga meninggalkan makam. Hanya tersisa seorang laki-laki yang membelakangiku, ia menghadap nisan Ann dan masih terus menangis. Tidak lama kemudian ia mengeluarkan senapan laras pendek dari sakunya, ia segera mengarahkan senapan laras pendek tersebut kearah kepalanya.

“Jangan!!” Aku berteriak dan mencoba menghampirinya.
Aku mencoba berlari sekuat tenaga untuk menghampirinya.
Tapi tidak bisa.
Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku.

“Jangan mendekat, cukup disini saja.” Rena kembali mengatakan hal tersebut kepadaku.
“Dorr!!” Suara tembakan terdengar, pria tersebut tersungkur tepat di makam Ann.

Aku baru bisa menggerakkan tubuhku, aku bergegas menghampiri pria yang tersungkur bersimbah darah di makam Ann. Aku mencoba membalikkan badannya tapi tanganku malah menembusnya. Aku tidak bisa memegangnya. Aku tidak bisa memegang tubuhnya.

“Namanya Mich Blazxanowski, ia mati karena bunuh diri di depan makam kekasihnya sesaat setelah pemakaman kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan.” Ucap Rena.

Aku merinding.
Bagaimana mungkin namanya bisa sama seperti namaku?

Sesaat kemudian banyak orang yang berhamburan mencoba mengangkat jasad tersebut, ternyata suara tembakan tersebut masih di dengar para pelayat yang dalam jalan pulang setelah pemakaman Ann.

Betapa hancurnya aku mengetahui bahwa laki-laki yang bunuh diri tersebut adalah aku, aku melihat wajahnya, ia mirip denganku. Dia memanglah aku! Dan sekarang aku tau, aku sudah mati. Aku tau sekarang, apa yang Rena maksud dengan kehidupan kedua.

“Ketika kita mati, kita akan membawa ingatan kita di masa hidup. Kita akan mereaktivasinya kembali, kita akan menghidupkannya kembali. Saat kita dalam kehidupan kedua kita akan menghidupkan memori kita saat kita masih hidup.” Ucap Rena dengan nada lirih.

Aku tersadar, aku sudah kembali di ruang tamu rumahku, masih dengan keadaan sebelumnya. Masih dengan Rena dan aku yang sedang duduk di sofa.

Tapi keadaannya jadi berbeda.
Suasananya jadi berbeda.

Keringatku bercucuran membasahi wajah, keringatku bercampur air mata. Aku tersadar aku tidak lagi berada di dunia orang-orang hidup. Aku tersadar Red Fall adalah tempat bagi orang-orang yang sudah mati. Disini damai, disini terang. Tidak ada sakit disini.

Aku tiba-tiba teringat Ann, aku teringat dimana ketika aku memberikan kado di ulang tahunnya, aku teringat senyumnya. Aku teringat semuanya, meskipun samar. Tapi sekarang, di kehidupan kedua, aku punya Rena, gadis cantik yang menjadi kekasihku. Aku harus menghidupi kehidupan keduaku, aku tidak bisa kembali lagi ke kehidupan pertamaku.

“Kamu mau tau, kenapa aku bisa di kehidupan kedua? Maksudku, kamu mau tau penyebab kematianku?”
“Coba ceritakan padaku, Rena.”
“Aku kecelakaan....” jawabnya. “Tapi aku bukan Ann, di kehidupan pertama, aku berbeda dengan Ann.” Imbuhnya.
“Iya, aku tau, kau berbeda dengan Ann.” Kataku. “Tapi kita tidak perlu bersedih disini, disini terang, tidak ada keburukan, tidak ada sakit. Bukankah ini kehidupan abadi? Tanyaku.
“Ini adalah bagian terburuknya, aku tidak mau menjalaninya, tapi ini berlangsung dengan sendirinya” jawab Rena.
“Maksudmu?” aku kembali bertanya pada Rena.
“Kita menunggu waktu untuk kita mati, dan setelah itu kita menunggu waktu kita dilahirkan kembali ke kehidupan ketiga yang sama kondisi kehidupannya seperti degan kehidupan pertama kita. Ini semacam sebuah pengulangan yang tidak akan pernah selesai.” Jawab Rena. “Oleh sebab itu aku sudah mengatakan bahwa tidak ada kehidupan abadi. Bahkan setelah kematian.” Imbuhnya.

Bersamaan dengan itu tubuh Rena memudar.

“Aku akan dilahirkan kembali. Aku mencintaimu Mich, aku ingin selalu bersamamu. Tapi, aku tidak bisa melawan hal ini.”

Aku terdiam.
Air mataku semakin deras keluar membasahi pipiku.

“Selamat tinggal Mich, aku sayang kamu.”
“Tapi kenapa??? Kenapa??” tanyaku.
“Disini tempatnya terlalu penuh cahaya, terlalu damai, bahkan jika kita terjatuh pun, kita tidak akan merasakan rasa sakit.”

Tubuh Rena semakin memudar, sudah hampir setengah badannya memudar dan menghilang.

“Sekarang kamu sudah punya bagian terakhir novelmu, segera selesaikan novelmu, Mich!”

Rena tersenyum, air matanya menetes ke tanganku yang berusaha memeluknya.

“Sampai bertemu di kehidupan ketiga. Aku cinta kamu.”

Sekarang tubuh Rena sudah semuanya memudar, ia sudah hilang dari hadapanku, ia sudah hilang dari Red Fall. Dia sudah tidak lagi di kehidupan kedua, dia sudah terlahir kembali di kehidupan ketiganya.

Sekarang, aku sudah punya bagian akhir dari novelku, aku akan segera menyelesaikannya dan segera mengirimkan novelku ke editorku.

Sekarang yang mengusik pikiranku adalah, jadi apa Rena di kehidupan ketiganya? Dan apakah aku bisa menemui Ann di kehidupan keduaku? Apakah aku akan bertemu Ann di Red Fall?

No comments:

Post a Comment