Disini
tempatnya terlalu penuh cahaya.
Terlalu
damai.
Bahkan
jika kita terjatuh pun, kita tidak akan merasakan rasa sakit.
..............................................................................................................................................
Pagi itu aku terbangun dengan badan yang kurang enak, ah semalam aku memang telat tidur, pekerjaanku banyak. Kulirik jam tanganku. Aku memang lebih nyaman menggunakan jam tangan, maksudku, aku memang selalu menggunakan jam tangan kemanapun aku pergi.
Pagi itu aku terbangun dengan badan yang kurang enak, ah semalam aku memang telat tidur, pekerjaanku banyak. Kulirik jam tanganku. Aku memang lebih nyaman menggunakan jam tangan, maksudku, aku memang selalu menggunakan jam tangan kemanapun aku pergi.
“Ah,
jam 8 pagi ya? Sebegitu lelahkah aku sampai telat bangun?” batinku dalam hati.
Entah
kenapa aku enggan beranjak dari tempat tidurku, terkadang kasur memang sangat
posessif. Iya memang keseringannya seperti itu.
Aku
belum memperkenalkan diriku ya pada kalian? Aku Mich, panggil saja Mich. Karena
aku yakin kalian tidak akan pernah mau mendengar nama panjangku, aku sendiri
malas menyebutkan nama panjangku.
Oke
jika kalian memaksa, namaku Mich Blazxanowski. Susah kan mengejanya? Aku
sendiri mengalami masalah saat berusaha mengeja nama belakangku ketika ada
orang yang menanyakan hal tersebut. Oleh sebab itu, panggil saja aku Mich.
Umurku 18, aku tinggal di Red Fall, sebuah kota dengan suasana yang sangat
damai. Mungkin Red Fall adalah kota paling damai yang pernah ada. Aku penulis,
penulis novel. Novel-novelku cukup sering mendapat perhatian remaja se-usiaku.
Aku yakin, kalian pasti tertarik membaca salah satu novel tulisanku.
Oh
iya, kalian punya kekasih? Aku punya. Dia cantik, matanya biru, rambutnya sebahu.
Namanya
Rena....
Dia
cantik, aku laki-laki beruntung bisa menjadi kekasihnya.
Pokoknya
aku beruntung deh. Percaya deh.
Aku
masih belum beranjak dari tempat tidurku sebelum notifikasi email dari laptopku
mengagetkanku. Ternyata ada email dari editorku mengatakan bahwa aku harus
segera menyelesaikan novel terbaruku. Menyebalkan bukan? Sangat menyebalkan
ketika kita diburu-buru oleh sesuatu dan harus segera menyelesaikannya.
Menurutku sih sangat menyebalkan. Maksudku, aku tidak suka melakukan sesuatu secara
terburu-buru dan tidak teliti.
Untuk
beberapa hal, aku tidak suka diburu-buru.
Aku
hampir lupa, besok 12 April, hari jadiku dan Rena ke 3. Iya, kami sudah tiga
tahun menjadi sepasang kekasih. Hampir lupa, selalu, aku selalu hampir
melupakan tanggal-tanggal penting dalam hidup. Ulang tahunku sendiri saja aku
sering lupa. Tapi bukankah itu hanya sekedar hari? Sekedar tanggal? Menurutku
sih yang terpenting bukan hanya bagaimana kita mengingat tanggal-tanggal
penting tersebut, dan bukan hanya bagaimana cara kita merayakannya. Yang
terpenting menurutku sih bagaimana cara kita memaknainya. Perayaan tanpa
pemaknaan mungkin hanya akan menjadi sia-sia. Lagipula hidup memang tentang
pemaknaan di tiap harinya, di tiap tanggalnya. Jadi, bukankah kita tidak
memerlukan tanggal-tanggal khusus? Tanggal-tanggal penting dalam hidup kita,
buatku, hanya sekedar pengingat momentum apa yang ada di tanggal dan bulan
tersebut.
Rena
belum menghubungiku, biasanya dia tidak pernah telat memberi kabar di pagi hari.
Dia selalu bangun lebih pagi ketimbang aku.
Tiba-tiba
aku mendengar pintu rumahku diketuk seseorang. Aku langsung bergegas menuju
pintu rumahku.
“Loh,
kamu kok kesini nggak ngabarin sih?” aku terkejut melihat Rena berdiri di depan
pintu rumahku.
“Surprise!!!
Ini tanggal berapa? Tuh kan, lupa lagi kalo ini hari jadi kita. cuma di tahun
pertama kamu nggak lupa tanggal jadi kita” Rena mencibirkan mulutnya.
Sebentar,
sebentar. Ini tanggal berapa sih? Ah, sekejap aku langsung ingat kalo hari
jadiku dan Rena adalah tanggal 11 April.
Aku
tau dia kecewa.
Tapi
sudah biasa kan aku lupa tanggal-tanggal penting dalam hidupku?
“Gimana
novelmu? Selesai?” Pertanyaan Rena mengagetkanku.
“Eh?
Novel? Ya gitu deh”
“Gitu
gimana?”
“Belum
selesai, bingung”
“Coba
sini aku lihat, boleh dong jadi penilai sebelum novelmu terbit?” Rena meminta
persetujuanku. Aku belum mengiyakan, dia sudah bergegas ke dalam rumahku dan
segera membuka laptopku.
“Hemm,
temanya gak jauh berbeda sama novelmu sebelumnya”
“Kamu
mau minum apa?” Tanyaku.
“Terserah
kamu, sayang”
Segelas
susu coklat dingin menemani Rena membaca calon novelku yang masih belum
selesai, ia banyak mengomentarinya, ya aku sangat suka ketika dia mulai menilai
apa yang aku tulis, aku sangat suka ketika dia memberikanku saran, bagaimana
seharusnya tulisanku, bagaimana harusnya jalan ceritanya. Tapi aku sangat tidak
suka ketika dia selalu menolak ketika aku menyarankannya menjadi penulis, sama
seperti aku. Padahal, dia selalu memiliki imajinasi yang bagus. Dia bisa
menjadi penulis hebat, bahkan bisa lebih hebat dariku.
“Aku
suka bagian ini, dimana tokoh dalam novelmu mulai mempertanyakan bagaimana bila
pada akhirnya tidak ada kehidupan abadi, bahkan setelah kematian.”
“Aku
juga suka bagian itu.”
“Kan,
kita sehati” ujar Rena.
Rena
selalu bisa membuatku tersipu, ia selalu bisa membuatku senang.
“Tapi
aku bingung bagian akhirnya, aku bingung.”
“Ya,
aku juga mempertanyakan bagaimana ketika memang sebenarnya tidak ada kehidupan
abadi, bahkan setelah kematian.” Gumam Rena. “Tapi nanti kita akan tau”
“Iya
kita akan tau setelah kita mati hahaha, tapi kita tidak akan pernah bisa
menceritakannya”
Rena
terdiam. Ia langsung murung.
“Eh?
Aku salah ngomong ya? Kok jadi murung gitu? Maaf deh”
“Nggak,
kamu nggak salah. Kamu bisa menceritakannya kok nanti”
“Maksudnya?”
aku bertanya pada Rena yang mukanya terlihat murung.
“Nanti”
Hari
sudah sore, Rena bergegas pamit dari rumahku, ia masih tetap murung. Sepertinya
ada yang salah dengan ucapanku, aku yakin dia tidak murung karena aku lupa hari
jadi kami. Dia nggak bakal murung, kelupaanku terhadap tanggal-tanggal penting,
sudah biasa bagi Rena.
Sudah
biasa bagi kami.
“Aku
antar pulang ya?”
“Nggak
usah, sayang. Aku naik taksi”
“Hati-hati
ya sayang, jangan lupa beri kabar”
“Siap
dehhh, segera selesaikan novelmu, aku nggak sabar mau baca bagian akhirnya.”
“Siap!
Ibu editor tersayang”
Seharusnya
Rena yang jadi editorku. Tapi kenyataannya Rena memang tidak tertarik dengan
bidang menulis.
Sesaat
setelah Rena bergegas masuk taksi yang sudah menunggunya, aku segera masuk
kembali ke dalam rumah. Apa yang salah ya dengan perkataanku sehingga Rena
menjadi murung dan tampak sedih?
Aku
segera membuka laptopku dan mencoba berusaha menulis bagian akhir dari novelku.
Aku membawa laptopku ke kamarku, aku lebih nyaman menulis di kamar.
“Apakah
ada kehidupan abadi setelah kematian?” aku bertanya-tanya dalam hati
Novelku
kali ini secara garis besar bercerita tentang sepasang kekasih yang mencoba
mencari tau tentang apakah ada kehidupan abadi. Seorang perempuan bernama Ann meninggalkan
kekasihnya, ia kecelakaan, ia mati. Itulah awal laki-laki yang menjadi tokoh
utama dalam novelku mencari tau apakah ada kehidupan abadi setelah kematian,
perempuan yang mati karena kecelakaan tersebut adalah kekasihnya.
Laki-laki
dalam novelku bernama Zack, ia memiliki anggapan bahwa semakin lama hidup, maka
semakin banyak kita mengalami kehilangan. Zack sangat terpukul dengan kematian Ann
kekasihnya, ia mencari tau apakah ada kehidupan abadi setelah kematian. Bagian
inilah yang membuatku bingung menentukan bagian dari novelku, sebenarnya memang
novel fiksi, tapi aku membuatnya dengan sungguh-sungguh dan tidak mau membuat
akhir yang biasa-biasa saja.
Aku
bisa saja membuat bagian akhirnya bahwa sebenarnya ada kehidupan abadi setelah
kematian, sebaliknya, bisa juga aku membuat akhir cerita, dan membuat Zack
mengerti dan mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada kehidupan abadi setelah
kematian.
Tapi,
menurutmu, apakah ada kehidupan abadi setelah kematian?
Bukankah
kita memang tidak pernah tau sebelum kita mati? Lalu, aku yakin, setelah kita
mati, kita akan tau apakah disana ada kehidupan abadi ataukah tidak. Sayangnya,
kita tidak akan pernah bisa menceritakannya, apalagi membuatnya menjadi sebuah
bagian akhir dari novel.
Aku
bingung, sangat bingung, sama seperti Zack yang bingung, sama seperti Zack yang
masih bertanya-tanya apakah ada kehidupan abadi setelah kematian. Apakah aku
harus membunuh Zack dalam ceritaku? Dan menceritakan apa yang diketahui Zack
setelah mati? Tapi tetap saja, misalkan aku membunuh Zack, aku tetap belum tau
apakah Zack akan menemukan kehidupan yang abadi disana, ataukah tidak.
Ah,
ini kan hanya novel fiksi, aku cukup membuat akhir ceritanya menarik dan tidak
biasa-biasa saja.
Tapi,
jauh di dalam hatiku, aku benar-benar bingung. Ini bukan sekedar mengenai
bagian akhir dari novelku. Aku benar-benar bingung apakah disana ada kehidupan
abadi ataukah tidak. Aku bingung bagaimana orang-orang pada akhirnya harus
mati. Aku bingung dengan sistem yang ada, dimana kita hidup, dan pada akhirnya
kita akan mati. Dan itu pasti.
Bunyi
nada pesan di handphone milikku membuyarkan kebingunganku.
“Mich
sayang, aku udah sampai rumah nih, kamu akan segera tau apa yang seharusnya
kamu tulis di bagian akhir novelmu.” Ternyata pesan dari Rena.
Baru
kali ini Rena sangat penasaran dan tertarik dengan novelku, buktinya dia sampai
masih kepikiran tentang bagian akhir dari novelku. Apa mungkin dia juga bingung
dan memikirkan hal yang sama denganku? Apa ia juga memikirkan hal yang sama
denganku, dan dengan Zack?
“Aku
masih bingung nih. Kamu jangan tidur larut malam ya sayang.” Aku membalas pesan
Rena.
Aku
tidak tau aku tertidur jam berapa, ketika aku membuka mata, cahaya matahari
sudah menerobos celah jendela kamarku. Aku melihat jam tanganku dan jam
tanganku menunjukkan jam 8 pagi. Lagi-lagi aku telat bangun. Tidak lama
kemudian, aku mendengar pintu rumahku diketuk seseorang. Aku langsung bergegas
menuju pintu rumahku.
“Baru
bangun?” tanya seseorang yang berdiri di depan pintu rumahku. Orang tersebut
adalah Rena.
“Iya
sayang, kok pagi banget kesini? Kangen?” aku mencoba berbicara sekenanya, aku
belum benar-benar bangun dari tidurku. Sebenarnya.
“Kangen
apanya, pagi buat kamu, udah siang buatku.” Rena tersenyum sinis ke arahku.
“Coba sini aku mau lihat perkembangan novelmu” imbuhnya.
“Semangat
banget sih kamu? Oke masuk dulu” aku mengajak Rena masuk ke rumahku.
“Sebenarnya
aku mau bikin bagian akhirnya, tapi masih belum yakin, aku takut bagian
akhirnya jadi hambar dan tidak menarik” ujarku sambil membawa laptop dari
kamarku ke ruang tamu.
“Coba
sini aku lihat” ujar Rena yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu.
“Kamu
masih mengulur-ngulur cerita ya, Zack sampai saat ini masih belum tau apakah
ada kehidupan abadi setelah kematian.” Komentar Rena setelah melihat
perkembangan novelku.
“Sebenarnya
aku sendiri juga bingung, apakah disana ada kehidupan abadi ataukah tidak.”
Sahutku.
Rena
menjadi sedih sesaat setelah mendengar perkataanku.
“Tidak
ada kehidupan abadi setelah kematian” ucap Rena.
“Tapi
menurutku ada, untuk apa kita mati jika tidak ada kehidupan abadi setelah
kematian?” aku menanggapi perkataan Rena.
“Aku
serius, tidak ada kehidupan abadi setelah kematian.” Mimik wajah Rena menjadi
serius. “Kamu tau atau kamu ingat penyebabmu ada disini? Di kehidupan kedua?”
tanya Rena kepadaku. Suasana menjadi hening.
“Kehidupan
kedua? Maksudmu apa? Aku nggak ngerti”
“Akan
kuberi tau, pejamkan matamu” perintah Rena.
Aku
mencoba menuruti perintah Rena, aku tidak tau apa yang terjadi dengannya, aku
tidak tau kenapa dia mengatakan tidak ada kehidupan abadi setelah kematian. Aku
tidak tidak mengerti kenapa ia membicarakan kehidupan kedua yang akupun tidak
paham apakah itu kehidupan kedua.
Aku
memejamkan mataku, mencoba menuruti perintah Rena.
Saat
aku membuka mataku, aku sedang di pemakaman. Aku melihat sedang ada proses
pemakaman. Seorang laki-laki dan perempuan paruh baya terus menangisi peti yang
segera masuk ke makam. Disamping dua orang terebut ada seorang laki-laki yang
juga menangisi peti tersebut. Aku berusaha mendekat kearah makam tersebut,
disana masih banyak orang, proses pemakaman masih berlangsung. Aku berusaha
mendekatinya.
“Jangan
mendekat, cukup disini saja.” Rena menepuk bahuku, ternyata ia ikut denganku,
ia ada di belakangku.
“Apa
maksud dari semua ini, sayang?” tanyaku.
“Perhatikan,
maka kamu akan mengetahuinya” jawab Rena.
Aku
bisa membaca tulisan yang ada di nisan makam tersebut.
TERBARING
DENGAN DAMAI,
ANN KIDDNAP
PUTRI DARI
TUAN ROBB EDWARD DAN NY. TIFFANY,
MENINGGAL TANGGAL 14 DESEMBER 1990,
DALAM USIA 18 TAHUN 2 HARI.
“Ann? Kok sama seperti tokoh di novelku yang belum selesai?” aku bertanya
dalam hati.
Beberapa saat kemudian proses pemakaman Ann selesai, para pelayat yang
hadir satu persatu meninggalkan pemakaman. Tidak terkecuali lelaki payuh baya
dan istrinya, mereka juga meninggalkan makam. Hanya tersisa seorang laki-laki
yang membelakangiku, ia menghadap nisan Ann dan masih terus menangis. Tidak
lama kemudian ia mengeluarkan senapan laras pendek dari sakunya, ia segera
mengarahkan senapan laras pendek tersebut kearah kepalanya.
“Jangan!!” Aku berteriak dan mencoba menghampirinya.
Aku mencoba berlari sekuat tenaga untuk menghampirinya.
Tapi tidak bisa.
Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku.
“Jangan
mendekat, cukup disini saja.” Rena kembali mengatakan hal tersebut kepadaku.
“Dorr!!” Suara
tembakan terdengar, pria tersebut tersungkur tepat di makam Ann.
Aku baru bisa
menggerakkan tubuhku, aku bergegas menghampiri pria yang tersungkur bersimbah
darah di makam Ann. Aku mencoba membalikkan badannya tapi tanganku malah
menembusnya. Aku tidak bisa memegangnya. Aku tidak bisa memegang tubuhnya.
“Namanya Mich
Blazxanowski, ia mati karena bunuh diri di depan makam kekasihnya sesaat
setelah pemakaman kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan.” Ucap Rena.
Aku merinding.
Bagaimana
mungkin namanya bisa sama seperti namaku?
Sesaat kemudian
banyak orang yang berhamburan mencoba mengangkat jasad tersebut, ternyata suara
tembakan tersebut masih di dengar para pelayat yang dalam jalan pulang setelah
pemakaman Ann.
Betapa hancurnya
aku mengetahui bahwa laki-laki yang bunuh diri tersebut adalah aku, aku melihat
wajahnya, ia mirip denganku. Dia memanglah aku! Dan sekarang aku tau, aku sudah
mati. Aku tau sekarang, apa yang Rena maksud dengan kehidupan kedua.
“Ketika kita
mati, kita akan membawa ingatan kita di masa hidup. Kita akan mereaktivasinya
kembali, kita akan menghidupkannya kembali. Saat kita dalam kehidupan kedua kita
akan menghidupkan memori kita saat kita masih hidup.” Ucap Rena dengan nada
lirih.
Aku tersadar,
aku sudah kembali di ruang tamu rumahku, masih dengan keadaan sebelumnya. Masih
dengan Rena dan aku yang sedang duduk di sofa.
Tapi keadaannya
jadi berbeda.
Suasananya jadi
berbeda.
Keringatku
bercucuran membasahi wajah, keringatku bercampur air mata. Aku tersadar aku
tidak lagi berada di dunia orang-orang hidup. Aku tersadar Red Fall adalah
tempat bagi orang-orang yang sudah mati. Disini damai, disini terang. Tidak ada
sakit disini.
Aku tiba-tiba
teringat Ann, aku teringat dimana ketika aku memberikan kado di ulang tahunnya,
aku teringat senyumnya. Aku teringat semuanya, meskipun samar. Tapi sekarang,
di kehidupan kedua, aku punya Rena, gadis cantik yang menjadi kekasihku. Aku
harus menghidupi kehidupan keduaku, aku tidak bisa kembali lagi ke kehidupan
pertamaku.
“Kamu mau tau,
kenapa aku bisa di kehidupan kedua? Maksudku, kamu mau tau penyebab
kematianku?”
“Coba ceritakan
padaku, Rena.”
“Aku
kecelakaan....” jawabnya. “Tapi aku bukan Ann, di kehidupan pertama, aku
berbeda dengan Ann.” Imbuhnya.
“Iya, aku tau,
kau berbeda dengan Ann.” Kataku. “Tapi kita tidak perlu bersedih disini, disini
terang, tidak ada keburukan, tidak ada sakit. Bukankah ini kehidupan abadi?
Tanyaku.
“Ini adalah
bagian terburuknya, aku tidak mau menjalaninya, tapi ini berlangsung dengan
sendirinya” jawab Rena.
“Maksudmu?” aku
kembali bertanya pada Rena.
“Kita menunggu
waktu untuk kita mati, dan setelah itu kita menunggu waktu kita dilahirkan
kembali ke kehidupan ketiga yang sama kondisi kehidupannya seperti degan
kehidupan pertama kita. Ini semacam sebuah pengulangan yang tidak akan pernah
selesai.” Jawab Rena. “Oleh sebab itu aku sudah mengatakan bahwa tidak ada
kehidupan abadi. Bahkan setelah kematian.” Imbuhnya.
Bersamaan dengan
itu tubuh Rena memudar.
“Aku akan
dilahirkan kembali. Aku mencintaimu Mich, aku ingin selalu bersamamu. Tapi, aku
tidak bisa melawan hal ini.”
Aku terdiam.
Air mataku
semakin deras keluar membasahi pipiku.
“Selamat
tinggal Mich, aku sayang kamu.”
“Tapi
kenapa??? Kenapa??” tanyaku.
“Disini
tempatnya terlalu penuh cahaya, terlalu damai, bahkan jika kita terjatuh pun,
kita tidak akan merasakan rasa sakit.”
Tubuh
Rena semakin memudar, sudah hampir setengah badannya memudar dan menghilang.
“Sekarang
kamu sudah punya bagian terakhir novelmu, segera selesaikan novelmu, Mich!”
Rena
tersenyum, air matanya menetes ke tanganku yang berusaha memeluknya.
“Sampai
bertemu di kehidupan ketiga. Aku cinta kamu.”
Sekarang
tubuh Rena sudah semuanya memudar, ia sudah hilang dari hadapanku, ia sudah
hilang dari Red Fall. Dia sudah tidak lagi di kehidupan kedua, dia sudah
terlahir kembali di kehidupan ketiganya.
Sekarang,
aku sudah punya bagian akhir dari novelku, aku akan segera menyelesaikannya dan
segera mengirimkan novelku ke editorku.
Sekarang
yang mengusik pikiranku adalah, jadi apa Rena di kehidupan ketiganya? Dan
apakah aku bisa menemui Ann di kehidupan keduaku? Apakah aku akan bertemu Ann
di Red Fall?
No comments:
Post a Comment