Tuesday, 24 June 2014

Mimpi.

Anjing itu matanya berwarna merah, menyala dan bercahaya meskipun dalam kegelapan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sangat jelas. Aku yakin kalian jika dalam posisi atau keadaan yang sama dengan yang sedang aku alami saat ini, aku yakin kalian pasti akan berusaha memutar otak untuk mengambil langkah selanjutnya.

Tapi, terkadang dalam keadaan yang sangat genting, kita tidak bisa berpikir jernih. Setidaknya yang aku tau, untuk saat ini, aku tau, aku tidak bisa memikirkan apa yang harus aku lakukan saat ini. Anjing itu terus menatapku tajam. Lidahnya menjulur, liurnya mengalir dari sela-sela giginya. Aku bisa melihat tatapannya yang menghantam nyaliku dengan telak. Saat aku mencoba bergerak, ia mengikutiku.

Grrrrrrrr...

Anjing itu menggeram, ia seakan memperingatkanku untuk tidak bergerak. Sedetik kemudian ia berjalan santai ke arahku. Berjalan santai tapi tetap mengawasiku. Aku terpekik, lidahku semakin kelu, nafasku terengah-engah, kakiku seakan tidak kuat menopang tubuhku sendiri. Aku mencoba menggunakan sisa-sisa tenagaku untuk berlari. Aku berusaha kuat untuk berlari dan mencoba pergi sejauh mungkin dari anjing tersebut.

Tapi aku salah.

Salah besar....

Beberapa saat setelah aku berlari, aku menyadari bahwa keputusanku untuk berlari adalah keputusan yang salah. Anjing tersebut justru melompat ke arahku, aku bisa melihat ia menerjangku. Aku melihat deretan giginya yang mengerikan.

Arrrgggghhhh!!!

Keringat membasahi tubuhku, semakin aku menyeka keringatku, keringatku justru semakin deras mengalir. Setidaknya aku orang paling beruntung sedunia kali ini. Anjing itu hanya mimpi. Anjing dengan mata merah menyala tersebut hanyalah mimpi.

Aku senang, itu semua hanya mimpi.

Mimpi yang terasa sangat nyata.

Ketakutan yang amat nyata.

Kengerian yang sangat terasa.

Namaku Josh, umurku 12 tahun. Kita pasti selalu pernah bermimpi, dan kita akan selalu bermimpi selama kita hidup. Dan kalian pasti sering membawa sensasi dari mimpi kalian ketika kalian terjaga dari tidur. Entah itu sensasi senang, gembira, sedih, atau bahkan sensasi mengerikan dan menakutkan.

Aku melirik jam di meja belajar kamarku, aku melihatnya dengan seksama dan akhirnya aku mengetahui bahwa jam di meja belajar kamarku tersebut masih menunjukkan jam 2 dinihari. Masih banyak waktu untukku tidur kembali dan bangun pada jam 7 pagi untuk sekolah.

Tapi, aku masih sangat ngeri ketika aku berusaha memejamkan mataku kembali. Anjing bermata merah menyala tersebut terlalu mengerikan. Mimpiku barusan terlalu mengerikan dan menakutkan. Terlalu nyata untuk jadi sebuah mimpi. Bagian yang sangat mengerikan dan paling aku ingat adalah ketika anjing tersebut menerjangku dan aku bisa melihat deretan giginya yang mengerikan.

Aku takut mimpiku jadi kenyataan. Sebagian besar orang pasti pernah mengalami kejadian yang sebenarnya pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kejadian di dunia nyata yang seakan-akan mereka pernah mengalaminya. Ini semacam dejavu. Atau sebagian orang pernah mengalami kejadian yang sama persis dengan apa yang mereka mimpikan. Ini semacam mimpi yang menjelma menjadi kenyataan.

“Jossshhh....!!” sebuah suara membangunkanku dari tidurku.
“Jossssh... Cepat bangun! Kau hampir telat sekolah”

Buru-buru aku melirik jam di meja belajar kamarku.

Gawat! Ini hampir jam setengah 7 pagi, aku hampir telat. Aku melompat dari tempat tidurku, aku bergegas untuk segera mandi. Pagi itu pagi yang sangat sibuk. Aku tidak boleh kehilangan rekor yang aku pegang sendiri, rekorku tidak pernah terlambat datang ke sekolah tidak boleh rusak hanya karena mimpi buruk yang menganggu tidurku dan membuatku bangun kesiangan. Selesai mandi, aku memakai pakaian dengan cepat, lalu aku turun dari kamarku yang ada di lantai 2 untuk bergegas menemui ibu. Saat aku menuruni tangga, aku sudah melihat wajah ibu yang cemas karena aku hampir telat ke sekolah.

“Josh, ini dimakan dulu!” perintah Ibu sambil memberikan sepotong sandwich padaku. Aku yang sedang terburu-buru memakannya dengan sangat cepat.

Hhhhhhh

Aku tersedak, potongan sandwich itu berhenti di tenggorokanku, potongan sandwich itu seakan berniat membunuhku. Nafasku tersengal.

“Aduh, Josh! Pelan-pelan dong makannya!” Ibu memarahiku. Sesaat kemudian ibu memberikan segelas air putih kepadaku. Tanpa memperhatikan raut muka Ibu, aku segera meminum air tersebut. Aku meminumnya dengan cepat dengan maksud supaya potongan sandwich yang tersangkut di tenggorokanku segera belalu dari tenggorokanku dan pergi ke tempat yang seharusnya.

“Maaf, Bu,” ucapku kepada Ibu. “Ibu tau kan kalau aku tidak pernah terlambat datang ke sekolah? Dan aku tidak mau kehilangan rekorku tersebut, bu.” Imbuhku.

Belum sempat Ibu menanggapi pembelaanku, aku langsung berpamitan dan menuju sepedaku untuk sesegera mungkin sampai di sekolah. Aku mengayuh sepedaku dengan kencang. Jam tanganku menunjukkan hampir jam 7 pagi. Jarak rumahku ke sekolah tidaklah begitu jauh, akan tetapi aku tidak bisa mengayuh sepedaku dengan santai karena jam tanganku menunjukkan hampir jam 7 pagi. Aku semakin cepat mengayuh sepedaku, bajuku basah oleh keringatku sendiri pagi itu. Sebenarnya ini membuatku tidak nyaman, tapi demi mempertahankan rekor yang aku buat sendiri, aku harus berkeringat pagi itu.

Jam tanganku menunjukkan jam 7 kurang 5 menit. Aku sudah memasuki gerbang sekolahku. Dan akhirnya aku masih bisa mempertahankan rekorku sendiri. Aku tersenyum kecil atas keberhasilanku pagi ini. Keberhasilan dari kompetisi yang aku buat sendiri. Kompetisi antara aku dan waktu.

“Akulah pemenangnya!” gumamku dalam hati.

Hari ini adalah pelajaran matematika. Kalian harus tau jika aku sangatlah ahli dalam pelajaran ini, aku suka berhitung. Suka sekali. Guru ku sendiri sering memujiku dalam pelarajan matematika. Teman-temanku mengakui keahlianku dalam bidang berhitung.

Kriingggggg...

Bunyi bel pelajaran matematika berakhir. Bel yang juga menandakan bahwa waktu istirahat sudah tiba. Aku sama sekali tidak kesulitan dengan materi baru yang diajarkan guru matematika tadi. Sampai-sampai aku tidak mencatat apa yang ia tulis di papan tulis. Aku sudah memahaminya jauh sebelum guruku mengajarkannya kepada kami.

Aku bergegas menuju kantin sekolah untuk makan, perutku sangat lapar karena pagi tadi aku tidak makan dengan benar. Biasanya aku bisa menghabiskan 2 sampai 3 potong sandwich untuk sarapanku, tapi, pagi tadi, seperti kalian tau, mimpi burukku membuatku telat bangun tidur dan tidak sempat sarapan dengan benar. Malah aku hampir mati karena sandwich bikinan Ibu.

Menyedihkan.

Sangat.

Aku baru saja hampir sampai di kantin, saat aku semakin dekat dengan kantin, aku melihat makhluk yang tidak asing bagiku. Aku melihat anjing bermata merah yang semalam menganggu tidurku lewat mimpi. Aku perlu waktu beberapa saat untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa anjing tersebut benarlah nyata. Anjing bermata merah tersebut benar-benar nyata.

Anjing itu ada di belakang Karen, teman sekelasku. Karen tidak menyadarinya. Anjing bermata merah tersebut mengawasi gerak-gerik Karen, ia menjulurkan lidahnya, mendengus-dengus.

Menjijikan!

Sesaat sebelum anjing tersebut menerjang Karen dari belakang, aku berlari ke arah Karen, aku menendang anjing tersebut dengan kaki kananku.

Gukk..guk...

Anjing tersebut kesakitan. Karen kaget melihat perlakuanku terhadap anjing tersebut. Aku terus menendangi anjing tersebut. Aku menggila, aku harus membunuh anjing bermata merah tersebut sebelum ia membunuh Karen, atau bahkan sebelum ia membunuhku.

“Josh! Hentikan! Apa-apaansih!” bentak Karen sambil menarik bajuku. Karen mencengkeram bajuku, ia berusaha menjauhkanku dari anjing tersebut.
“Anjing ini anjing hantu! Ia bermata merah, ia semalam datang di mimpiku, ia ingin membunuhku, dan sekarang ia ingin mebunuhmu!” bentakku, aku terus berusaha menendang anjing itu.
“Apanya yang anjing hantu?! Lihat! Itu anjing penjaga sekolah kita, ia sudah akrab dengan semua orang disini. Ia jinak! Dasar bodoh!”

Saat aku melihat ke arah anjing itu untuk kesekian kalinya, aku mendadak lemas. Anjing tersebut bukanlah anjing bermata merah menyala seperti yang aku lihat sebelumnya. Anjing tersebut adalah Tody. Tody adalah anjing milik penjaga sekolah kami. Seperti yang dikatakan Karen, ia memang akrab dengan semua orang disini, ia sudah jinak. Bahkan aku sering bermain-main dengannya.

Gukkk...gukkk

Suara anjing tersebut lemas. Aku melihat darah mengalir dari sela-sela mulutnya. Lidahnya menjulur lemas.

“Aduh! Tody, maafkan aku...” ucapku lemas sambil mencoba mengangkat tubuh Tody.

Aku membawa Tody ke penjaga sekolah yang juga pemilik Tody. Daren, penjaga sekolahku terkaget-kaget melihat keadaan Tody yang cukup buruk akibat tendanganku. Setelah aku dan Karen menjelaskan semuanya, Daren memarahiku, akan tetapi setelah aku meminta maaf akhirnya Daren memaafkanku.

Kringgggg...

Bunyi bel pelajaran terakhir berbunyi. Bunyi bel yang juga menandakan bahwa waktu pulang telah tiba. Setelah kejadian di kantin tadi, aku gusar. Aku tidak memperhatikan pelajaran terakhir hari ini. Aku terus-terusan memikirkan anjing bermata merah yang tiba-tiba berubah menjadi Tody setelah aku tendangi.

Apakah aku sudah gila?

Gila karena mimpi buruk?

Aku menaruh sepedaku di samping garasi rumahku, di perjalanan pulang aku masih saja memikirkan kejadian di kantin. Sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku dan mengunci pintu kamarku. Aku dikurung perasaan takut. Takut dan ngeri.

Makan malam tiba, aku bergegas ke meja makan karena ibu, ayah, dan adik sudah menungguku untuk makan malam. Di meja makan aku tidak banyak berbicara. Selesai makan tanpa berkata apapun aku langsung bergegas ke kamarku dan setelah sampai di kamarku, aku langsung mengunci pintu kamarku. Aku sangat lelah hari ini. Semua berawal dari mimpi burukku kemarin malam. Aku terus-terusan memikirkan kejadian di kantin siang tadi dan juga mimpi burukku kemarin malam.

Aku mencoba merebahkan badanku di kasur. Kepalaku terasa berat, keringatku mengalir. Aku mencoba memejamkan mataku sesaat setelah aku merebahkan badanku di kasur, akan tetapi aku tidak bisa memejamkan mataku dengan tenang. Aku mencoba membenarkan posisi bantalku dan memukul-mukul pelan bantalku, setidaknya aku berharap bantalku jadi lebih nyaman setelah ini. Aku kembali mencoba memejamkan mataku. Kali ini aku rasa, aku berhasil terlelap dalam tidurku.

Aku sedang berjalan-jalan di taman bersama Hana, perempuan cantik seumuranku. Awalnya aku di berjalan di depannya, kadang juga aku berjalan di belakangnya. Dia mengajakku bercanda. Aku berlari karena ia mengejarku. Aku bisa mendengar tawanya yang renyah saat ia mengejarku.

Aku tidak sadar bahwa aku semakin dekat dengan jalan raya, Hana terus mengejarku. Aku berlari sambil melihat ke arahnya, aku tidak melihat sesuatu yang ada di depanku. Saat aku melihat sesuatu yang berada di depanku, aku terkejut. Aku sudah terlambat untuk menghindarinya.

Brakkkk...

Mobil itu menghantam badanku. Mula-mula darah mengalir dari kepalaku, lalu telingaku. Aku merasakan sakit yang teramat. Penglihatanku kabur. Satu yang masih bisa aku dengar adalah tangisan Hana. Ia menjerit sesekali, lalu ia menangis. Nafasku terengah. Penglihatanku yang kabur berubah menjadi gelap. Semakin gelap.

Gelap.

Sunyi.

Tenang.

Aku tiba-tiba melihat setitik cahaya putih, aku berusaha untuk mencapainya. Aku berlari menghampiri titik cahaya tersebut. Semakin aku berlarim titik cahaya putih tersebut semakin membesar sampai pada akhirnya kegelapan yang sebelumnya menyelimuti penglihatanku menjadi putih terang.

Aku membuka kedua mataku, aku melihat Hana dan ibunya tersenyum melihat kondisiku.

“Dokter apakah keadaan Josh sudah benar-benar normal?” tanya Miss Levy kepada Dokter yang juga ada di dekatku. Miss Levy adalah ibu dari Hana.
“Saya juga kaget melihat Josh bisa sembuh dari komanya, ini sebuah keajaiban.” Jawab Dokter tersebut.
“Akhirnya, setelah 1 bulan koma kau kembali! Aku janji nggak akan mengejarmu lagi, Josh..” ujar Hana sambil berusaha mengangkat badanku. Aku melihat senyum dari wajah Hana.
“Guk...Guk....” suara yang keluar dari mulutku.

Aku senang bisa selamat dari kecelakaan itu.

Aku senang bisa mengalahkan kematian.

Aku juga senang. Pernah bermimpi menjadi manusia.

Gukk...gukk...

1 comment: