Anjing
itu matanya berwarna merah, menyala dan bercahaya meskipun dalam kegelapan. Aku
bisa melihatnya dengan jelas. Sangat jelas. Aku yakin kalian jika dalam posisi
atau keadaan yang sama dengan yang sedang aku alami saat ini, aku yakin kalian pasti
akan berusaha memutar otak untuk mengambil langkah selanjutnya.
Tapi,
terkadang dalam keadaan yang sangat genting, kita tidak bisa berpikir jernih.
Setidaknya yang aku tau, untuk saat ini, aku tau, aku tidak bisa memikirkan apa
yang harus aku lakukan saat ini. Anjing itu terus menatapku tajam. Lidahnya
menjulur, liurnya mengalir dari sela-sela giginya. Aku bisa melihat tatapannya
yang menghantam nyaliku dengan telak. Saat aku mencoba bergerak, ia
mengikutiku.
Grrrrrrrr...
Anjing
itu menggeram, ia seakan memperingatkanku untuk tidak bergerak. Sedetik
kemudian ia berjalan santai ke arahku. Berjalan santai tapi tetap mengawasiku.
Aku terpekik, lidahku semakin kelu, nafasku terengah-engah, kakiku seakan tidak
kuat menopang tubuhku sendiri. Aku mencoba menggunakan sisa-sisa tenagaku untuk
berlari. Aku berusaha kuat untuk berlari dan mencoba pergi sejauh mungkin dari
anjing tersebut.
Tapi
aku salah.
Salah
besar....
Beberapa
saat setelah aku berlari, aku menyadari bahwa keputusanku untuk berlari adalah
keputusan yang salah. Anjing tersebut justru melompat ke arahku, aku bisa
melihat ia menerjangku. Aku melihat deretan giginya yang mengerikan.
Arrrgggghhhh!!!
Keringat
membasahi tubuhku, semakin aku menyeka keringatku, keringatku justru semakin
deras mengalir. Setidaknya aku orang paling beruntung sedunia kali ini. Anjing
itu hanya mimpi. Anjing dengan mata merah menyala tersebut hanyalah mimpi.
Aku
senang, itu semua hanya mimpi.
Mimpi
yang terasa sangat nyata.
Ketakutan
yang amat nyata.
Kengerian
yang sangat terasa.
Namaku
Josh, umurku 12 tahun. Kita pasti selalu pernah bermimpi, dan kita akan selalu
bermimpi selama kita hidup. Dan kalian pasti sering membawa sensasi dari mimpi
kalian ketika kalian terjaga dari tidur. Entah itu sensasi senang, gembira,
sedih, atau bahkan sensasi mengerikan dan menakutkan.
Aku
melirik jam di meja belajar kamarku, aku melihatnya dengan seksama dan akhirnya
aku mengetahui bahwa jam di meja belajar kamarku tersebut masih menunjukkan jam
2 dinihari. Masih banyak waktu untukku tidur kembali dan bangun pada jam 7 pagi
untuk sekolah.
Tapi,
aku masih sangat ngeri ketika aku berusaha memejamkan mataku kembali. Anjing
bermata merah menyala tersebut terlalu mengerikan. Mimpiku barusan terlalu
mengerikan dan menakutkan. Terlalu nyata untuk jadi sebuah mimpi. Bagian yang
sangat mengerikan dan paling aku ingat adalah ketika anjing tersebut
menerjangku dan aku bisa melihat deretan giginya yang mengerikan.
Aku
takut mimpiku jadi kenyataan. Sebagian besar orang pasti pernah mengalami
kejadian yang sebenarnya pernah mereka bayangkan sebelumnya. Kejadian di dunia
nyata yang seakan-akan mereka pernah mengalaminya. Ini semacam dejavu. Atau
sebagian orang pernah mengalami kejadian yang sama persis dengan apa yang
mereka mimpikan. Ini semacam mimpi yang menjelma menjadi kenyataan.
“Jossshhh....!!”
sebuah suara membangunkanku dari tidurku.
“Jossssh...
Cepat bangun! Kau hampir telat sekolah”
Buru-buru
aku melirik jam di meja belajar kamarku.
Gawat!
Ini hampir jam setengah 7 pagi, aku hampir telat. Aku melompat dari tempat
tidurku, aku bergegas untuk segera mandi. Pagi itu pagi yang sangat sibuk. Aku
tidak boleh kehilangan rekor yang aku pegang sendiri, rekorku tidak pernah
terlambat datang ke sekolah tidak boleh rusak hanya karena mimpi buruk yang
menganggu tidurku dan membuatku bangun kesiangan. Selesai mandi, aku memakai
pakaian dengan cepat, lalu aku turun dari kamarku yang ada di lantai 2 untuk
bergegas menemui ibu. Saat aku menuruni tangga, aku sudah melihat wajah ibu
yang cemas karena aku hampir telat ke sekolah.
“Josh,
ini dimakan dulu!” perintah Ibu sambil memberikan sepotong sandwich padaku. Aku
yang sedang terburu-buru memakannya dengan sangat cepat.
Hhhhhhh
Aku
tersedak, potongan sandwich itu berhenti di tenggorokanku, potongan sandwich
itu seakan berniat membunuhku. Nafasku tersengal.
“Aduh,
Josh! Pelan-pelan dong makannya!” Ibu memarahiku. Sesaat kemudian ibu
memberikan segelas air putih kepadaku. Tanpa memperhatikan raut muka Ibu, aku
segera meminum air tersebut. Aku meminumnya dengan cepat dengan maksud supaya
potongan sandwich yang tersangkut di tenggorokanku segera belalu dari
tenggorokanku dan pergi ke tempat yang seharusnya.
“Maaf,
Bu,” ucapku kepada Ibu. “Ibu tau kan kalau aku tidak pernah terlambat datang ke
sekolah? Dan aku tidak mau kehilangan rekorku tersebut, bu.” Imbuhku.
Belum
sempat Ibu menanggapi pembelaanku, aku langsung berpamitan dan menuju sepedaku
untuk sesegera mungkin sampai di sekolah. Aku mengayuh sepedaku dengan kencang.
Jam tanganku menunjukkan hampir jam 7 pagi. Jarak rumahku ke sekolah tidaklah
begitu jauh, akan tetapi aku tidak bisa mengayuh sepedaku dengan santai karena jam
tanganku menunjukkan hampir jam 7 pagi. Aku semakin cepat mengayuh sepedaku,
bajuku basah oleh keringatku sendiri pagi itu. Sebenarnya ini membuatku tidak
nyaman, tapi demi mempertahankan rekor yang aku buat sendiri, aku harus
berkeringat pagi itu.
Jam
tanganku menunjukkan jam 7 kurang 5 menit. Aku sudah memasuki gerbang
sekolahku. Dan akhirnya aku masih bisa mempertahankan rekorku sendiri. Aku
tersenyum kecil atas keberhasilanku pagi ini. Keberhasilan dari kompetisi yang
aku buat sendiri. Kompetisi antara aku dan waktu.
“Akulah
pemenangnya!” gumamku dalam hati.
Hari
ini adalah pelajaran matematika. Kalian harus tau jika aku sangatlah ahli dalam
pelajaran ini, aku suka berhitung. Suka sekali. Guru ku sendiri sering memujiku
dalam pelarajan matematika. Teman-temanku mengakui keahlianku dalam bidang
berhitung.
Kriingggggg...
Bunyi
bel pelajaran matematika berakhir. Bel yang juga menandakan bahwa waktu
istirahat sudah tiba. Aku sama sekali tidak kesulitan dengan materi baru yang
diajarkan guru matematika tadi. Sampai-sampai aku tidak mencatat apa yang ia
tulis di papan tulis. Aku sudah memahaminya jauh sebelum guruku mengajarkannya
kepada kami.
Aku
bergegas menuju kantin sekolah untuk makan, perutku sangat lapar karena pagi
tadi aku tidak makan dengan benar. Biasanya aku bisa menghabiskan 2 sampai 3
potong sandwich untuk sarapanku, tapi, pagi tadi, seperti kalian tau, mimpi
burukku membuatku telat bangun tidur dan tidak sempat sarapan dengan benar.
Malah aku hampir mati karena sandwich bikinan Ibu.
Menyedihkan.
Sangat.
Aku
baru saja hampir sampai di kantin, saat aku semakin dekat dengan kantin, aku
melihat makhluk yang tidak asing bagiku. Aku melihat anjing bermata merah yang
semalam menganggu tidurku lewat mimpi. Aku perlu waktu beberapa saat untuk
meyakinkan diriku sendiri bahwa anjing tersebut benarlah nyata. Anjing bermata
merah tersebut benar-benar nyata.
Anjing
itu ada di belakang Karen, teman sekelasku. Karen tidak menyadarinya. Anjing
bermata merah tersebut mengawasi gerak-gerik Karen, ia menjulurkan lidahnya,
mendengus-dengus.
Menjijikan!
Sesaat
sebelum anjing tersebut menerjang Karen dari belakang, aku berlari ke arah
Karen, aku menendang anjing tersebut dengan kaki kananku.
Gukk..guk...
Anjing
tersebut kesakitan. Karen kaget melihat perlakuanku terhadap anjing tersebut.
Aku terus menendangi anjing tersebut. Aku menggila, aku harus membunuh anjing
bermata merah tersebut sebelum ia membunuh Karen, atau bahkan sebelum ia
membunuhku.
“Josh!
Hentikan! Apa-apaansih!” bentak Karen sambil menarik bajuku. Karen mencengkeram
bajuku, ia berusaha menjauhkanku dari anjing tersebut.
“Anjing
ini anjing hantu! Ia bermata merah, ia semalam datang di mimpiku, ia ingin
membunuhku, dan sekarang ia ingin mebunuhmu!” bentakku, aku terus berusaha
menendang anjing itu.
“Apanya
yang anjing hantu?! Lihat! Itu anjing penjaga sekolah kita, ia sudah akrab
dengan semua orang disini. Ia jinak! Dasar bodoh!”
Saat
aku melihat ke arah anjing itu untuk kesekian kalinya, aku mendadak lemas.
Anjing tersebut bukanlah anjing bermata merah menyala seperti yang aku lihat
sebelumnya. Anjing tersebut adalah Tody. Tody adalah anjing milik penjaga
sekolah kami. Seperti yang dikatakan Karen, ia memang akrab dengan semua orang
disini, ia sudah jinak. Bahkan aku sering bermain-main dengannya.
Gukkk...gukkk
Suara
anjing tersebut lemas. Aku melihat darah mengalir dari sela-sela mulutnya.
Lidahnya menjulur lemas.
“Aduh!
Tody, maafkan aku...” ucapku lemas sambil mencoba mengangkat tubuh Tody.
Aku
membawa Tody ke penjaga sekolah yang juga pemilik Tody. Daren, penjaga
sekolahku terkaget-kaget melihat keadaan Tody yang cukup buruk akibat
tendanganku. Setelah aku dan Karen menjelaskan semuanya, Daren memarahiku, akan
tetapi setelah aku meminta maaf akhirnya Daren memaafkanku.
Kringgggg...
Bunyi
bel pelajaran terakhir berbunyi. Bunyi bel yang juga menandakan bahwa waktu
pulang telah tiba. Setelah kejadian di kantin tadi, aku gusar. Aku tidak
memperhatikan pelajaran terakhir hari ini. Aku terus-terusan memikirkan anjing
bermata merah yang tiba-tiba berubah menjadi Tody setelah aku tendangi.
Apakah
aku sudah gila?
Gila
karena mimpi buruk?
Aku
menaruh sepedaku di samping garasi rumahku, di perjalanan pulang aku masih saja
memikirkan kejadian di kantin. Sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku dan
mengunci pintu kamarku. Aku dikurung perasaan takut. Takut dan ngeri.
Makan
malam tiba, aku bergegas ke meja makan karena ibu, ayah, dan adik sudah
menungguku untuk makan malam. Di meja makan aku tidak banyak berbicara. Selesai
makan tanpa berkata apapun aku langsung bergegas ke kamarku dan setelah sampai
di kamarku, aku langsung mengunci pintu kamarku. Aku sangat lelah hari ini.
Semua berawal dari mimpi burukku kemarin malam. Aku terus-terusan memikirkan
kejadian di kantin siang tadi dan juga mimpi burukku kemarin malam.
Aku
mencoba merebahkan badanku di kasur. Kepalaku terasa berat, keringatku
mengalir. Aku mencoba memejamkan mataku sesaat setelah aku merebahkan badanku
di kasur, akan tetapi aku tidak bisa memejamkan mataku dengan tenang. Aku
mencoba membenarkan posisi bantalku dan memukul-mukul pelan bantalku,
setidaknya aku berharap bantalku jadi lebih nyaman setelah ini. Aku kembali
mencoba memejamkan mataku. Kali ini aku rasa, aku berhasil terlelap dalam
tidurku.
Aku
sedang berjalan-jalan di taman bersama Hana, perempuan cantik seumuranku.
Awalnya aku di berjalan di depannya, kadang juga aku berjalan di belakangnya.
Dia mengajakku bercanda. Aku berlari karena ia mengejarku. Aku bisa mendengar
tawanya yang renyah saat ia mengejarku.
Aku
tidak sadar bahwa aku semakin dekat dengan jalan raya, Hana terus mengejarku.
Aku berlari sambil melihat ke arahnya, aku tidak melihat sesuatu yang ada di
depanku. Saat aku melihat sesuatu yang berada di depanku, aku terkejut. Aku
sudah terlambat untuk menghindarinya.
Brakkkk...
Mobil
itu menghantam badanku. Mula-mula darah mengalir dari kepalaku, lalu telingaku.
Aku merasakan sakit yang teramat. Penglihatanku kabur. Satu yang masih bisa aku
dengar adalah tangisan Hana. Ia menjerit sesekali, lalu ia menangis. Nafasku
terengah. Penglihatanku yang kabur berubah menjadi gelap. Semakin gelap.
Gelap.
Sunyi.
Tenang.
Aku
tiba-tiba melihat setitik cahaya putih, aku berusaha untuk mencapainya. Aku
berlari menghampiri titik cahaya tersebut. Semakin aku berlarim titik cahaya
putih tersebut semakin membesar sampai pada akhirnya kegelapan yang sebelumnya
menyelimuti penglihatanku menjadi putih terang.
Aku
membuka kedua mataku, aku melihat Hana dan ibunya tersenyum melihat kondisiku.
“Dokter
apakah keadaan Josh sudah benar-benar normal?” tanya Miss Levy kepada Dokter
yang juga ada di dekatku. Miss Levy adalah ibu dari Hana.
“Saya
juga kaget melihat Josh bisa sembuh dari komanya, ini sebuah keajaiban.” Jawab
Dokter tersebut.
“Akhirnya,
setelah 1 bulan koma kau kembali! Aku janji nggak akan mengejarmu lagi, Josh..”
ujar Hana sambil berusaha mengangkat badanku. Aku melihat senyum dari wajah
Hana.
“Guk...Guk....”
suara yang keluar dari mulutku.
Aku
senang bisa selamat dari kecelakaan itu.
Aku
senang bisa mengalahkan kematian.
Aku
juga senang. Pernah bermimpi menjadi manusia.
Gukk...gukk...
ihh ihh.. Dasar Anjing :)
ReplyDelete